Keluhan Korban Ghosting HRD. Pernah Dengar?
Keluhan Korban Ghosting HRD. Pernah Dengar?
Oleh : Guno*
Di pagi buta, ketika sebagian orang masih terlelap dalam tidurnya, Femylia Fahmadiyah Yusdi sudah bersiap-siap pergi. Di tempatnya tinggal, yaitu di Desa Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur, belum banyak ojek online. Dengan upah sebesar Rp 30 ribu, ia meminta tetangganya mengantarkan ke Stasiun Jember. Dari sana, perempuan yang akrab disapa Fe ini bertolak ke Surabaya dengan menempuh perjalanan selama empat jam. Total sudah enam kali rutinitas semacam ini ia jalani.
“Aku sudah bangun dari pukul 03.00 WIB. Dari desa ke kota Jember makan waktu 30 menit. Kalau keretanya berangkat pukul 04.30 WIB,” ucap Fe saat dihubungi detikX.
Semua berawal ketika Fe lulus dari jalur profesi Manajemen Keperawatan di Universitas Muhammadiyah Jember pertengahan 2019 silam. Sebagai anak baru lulus yang ingin cepat dapat kerja, Fe menebar surat lamaran kerja sebanyak mungkin. Entah sudah berapa banyak yang ia tebar. Bisa jadi puluhan atau bahkan ratusan, Fe sudah tak sanggup lagi menghitung. Kenyatannya dunia kerja tak lebih indah dari masa kuliah.
Aku udah menyebar CV (Curriculum Vitae) dari sebelum lulus. Sudah tidak terhitung, sudah seratusan lebih. Sebab lowongan yang bukan keperawatan juga aku ambil,” ungkap perempuan yang kini berusia 27 tahun itu.
Begitu mendapat panggilan dari sebuah rumah sakit di Surabaya, tentu Fe melonjak kegirangan. Demi tahap seleksi kerja itu, dia rela menghabiskan seluruh tabungannya untuk ongkos bolak-balik Jember-Surabaya. “Bayar dianterkan tetangga Rp 30 ribu, tiket kereta Rp 150 ribu, naik ojek online di Surabaya Rp 20 ribu. Belum uang makan selama di sana. Total sekali pergi aku sudah menghabkan Rp 500 ribu,” Selama enam kali pergi ikut seleksi, paling tidak Fe sudah mengeluarkan ongkos Rp 3 juta.
.
Namun begitu Fe agak heran, mengapa di zaman yang serba digital ini dia masih dimnta datang oleh staf HRD di sana hanya untuk menyerahkan berkas dokumen. Namun, dia mengurungkan niat untuk protes kepada orang yang memiliki kuasa penuh untuk menentukan nasibnya itu. Di pertemuan keenam, Fe dan para kandidat lain diundang untuk mendengarkan pengumuman hasil rekrutmen, yang mana sebetulnya bisa dilakukan via email atau aplikasi online. Zoom misalnya.
“Kasihan, mereka ada yang dari Pasuruan, Probolinggo, Banyuwangi. Orang Surabaya malah sedikit. Bahkan salah satu temannya ada yang dari desa terpencil, Desa Sutco Pangepo dekat sebuah gunung,” tuturnya. Temannya yang tinggal dekat Gunung Argopuro ini sampai rela meminjam uang agar bisa mengikuti seleksi kerja. Sayangnya harapan mereka hancur seketika ketika hasil pengumuman menyatakan sebagian besar dari mereka tidak diterima.
“Kita dipanggil lagi hanya untuk mendengar pengumuman kalau dari mereka ditolak. Aku sudah keburu malas sekali sebenarnya. Birokrasinya terlalu ribet. Sepertinya dibuat begitu. Harus berjuang dulu baru bisa diterima di sini,” kata perempuan yang pernah bekerja sebagai penyiar radio lokal ini.
Proses seleksi kerja yang pernah ia lalui itu justru sangat berbeda dengan rekrutmen yang dilakukan di tempat dia bekerja sekarang. Sudah dua tahun Fe bekerja di Medel HearLife Indonesia cabang Surabaya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pusat kesehatan pendengaran. Kurang lebih satu minggu, Fe berhasil lolos dan diterima bekerja di sana.
“Mungkin karena bosku orang luar negeri, Alhamdulillah sama sekali tidak ribet. Aku sempat video call juga dengan user yang ada di pusat. Habis nego gaji besoknya langsung disuruh kerja,” tuturnya. “Dan mereka tahu aku dari Jember. Mereka bikin proses rekrutmennya seefisien mungkin, jadi kerjanya tidak mempersulit kita.”
Ada pula hari dimana para kandidat pencari kerja ini menunggu jawaban tak pasti dari para recruiter. Hari demi hari berganti, namun mereka tak kunjung mendapatkan jawaban pasti. Menjadi 'korban ghosting'. Padahal dampaknya bisa menimbulkan bahaya bagi kondisi kejiwaan korban. Perasaan marah, depresi, bingung hingga merasa tidak diinginkan bisa dialami.
“Insecure sekali. Apa karena begitu jeleknya dalam artian CV yang aku masukan atau soal-soal yang aku kerjakan. Jadi ke mana-mana pikirannya,” kata Fe.
Hal itu pula yang dialami dan dirasakan Della Asri Rahmawati Utomo saat baru lulus dan mencari kerja. Banyak HRD yang ujung-ujungnya sama sekali tidak memberi jawaban. Ada segelintir yang berbaik hati mengirimkan surat pernyataan penolakan, namun itu pun tidak disertai penjelasan.
Sudah empat setengah tahun Della kini bekerja sebagai rekruter di sebuah perusahaan konsultan keungan. Dia mencoba membuat pendekatan berbeda. “Saya sudah pernah ngerasa dighosting itu tidak enak. Makanya harus ada mata rantai pemutusnya. Saya harus menerapkan etika dari seorang recruiter,” ungkapnya.
Di perusahaan tempat dia bekerja, ada sebuah peraturan tidak tertulis dimana berkas yang dikirimkan oleh kandidat harus diproses selama maksimal dua minggu. Namun, apakah hasil penolakannya akan disampaikan kepada kandidat atau tidak, hal itu tergantung siapa recruiter yang menangani berkasnya.
“Karena kembali lagi HR itu manusia yang mempunyai banyak karakter yang pasti satu sama lain beda. Ada juga memang yang karakternya masa bodoh. Saya di sini tidak mewakili siapapun, hanya mewakili diri sendiri saja,” tuturnya. Selain mengirimkan surat penolakan via email atau WhatsApp , Della juga memberikan penjelasan terkait penolakannya itu. “Supaya mereka tahu apa kelemahannya, jadi di lain kesempatan bisa diperbaiki. Misalnya bahasa Inggrisnya kurang, sehingga bisa ditingkatkan lagi.”
*****
Kisah di atas terangkum dalam sebuah link di media sosial yang berjudul "keluhan korban ghosting HRD" di internet. Memang sangat memilukan bila kita membacanya, karena bisa jadi itu bercerita berdasarkan tentang kejadian nyata. Terlebih bila dihubungkan dengan jaman sekarang ini dimana segalanya sudah serba canggih di bidang tehnologi khususnya di bidang internet. Sangat dirasakan menjadi tidak efektif dan efesien.
Memang dapat dipahami bila Tim Rekrutmen harus bertemu langsung dengan para pencari kerja jika itu menyangkut pelaksanaan test tertulis dan kesehatan. Selebihnya dapat dilakukan melalui penggunaan fasilitas internet (zoom). Sedang yang masalah lain memang dapat dimengerti adalah bila ada keharusan misalnya pihak HRD yang bersangkutan harus mengirimkan surat penolakan sekian ratus atau sekian ribu lembar surat, itu jelas sangat merepotkan sekali. Apalagi yang begitu, bila di lowongan kerja juga menyantumkan nomor telpon bisa dipastikan nomor tersebut akan dibanjiri menerima telpon dari mereka yang menanyakan nasib lamararan kerja. Maka pihak Perusahaan lebih suka menggunakan alamat email. Di jaman beberapa tahun yang lalu Perusahaan pembuka lowongan kerja memakai media PO Boks di Kantor Pos.
Bagaimanapun pencarian pekerja baru adalah kepentingan kedua belah pihak yaitu Perusahaan yang bersangkutan dan para pencari kerja. Masing-masing tentu berusaha mencari yang terbaik. Rekrutmen pekerja baru harus dapat berjalan secara tersruktur, jelas, tegas, efektif, dan efesien. Di rekrutmen ada agenda jadwal waktunya. Dan harus disiplin tentang itu. Pihak HRD dituntut untuk memiliki wawasan yang luas dalam pengambilan kebijakan yang bijaksana dengan tidak meninggalkan keluwesan yang ada.
Have a Nice Day
*Guno adalah praktisi HRD pada 2003 ikut membidani lahirnya Perhimpunan Human Receources Development Jawa Tengah, yang anggotanya mayoritas para Manajer HR. Pernah menjadi Ketua 2 periode.